Oleh : Considus Tophianong
Goresan kecil ini adalah refleksi pribadi saat menghadiri ‘Pesta Iman’–Perayaan Misa Memperingati Pesta St. Vinsensius A Paulo bersama Panti Asuhan Bakti Luhur Suster Alma, Baumata, Tuak Daun Merah dan Sikumana di Baumata, sebuah kampung kecil di wilayah pinggiran tak jauh dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu, 27 September 2025.
Bahwa, kita hidup di zaman ketika ukuran keberhasilan sering ditimbang dari harta, status, dan apa yang bisa dipamerkan. Hedonisme, budaya flexing, kerakusan, dan rasa tidak pernah cukup menjadi wajah baru dunia modern. Manusia sibuk mengumpulkan, tetapi hatinya tetap kosong; mereka menimbun, tetapi tidak pernah puas; mereka memamerkan, tetapi kehilangan makna terdalam hidup.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang lapar akan gengsi, karya pelayanan Suster-suster Alma tampil sebagai tanda profetis yang membalikkan logika dunia.
Mereka memilih hadir bukan di panggung kehormatan, melainkan di lorong penderitaan. Mereka merangkul yang miskin, menghibur yang sakit, mendampingi yang terlantar, dan memberi tempat bagi yang terlupakan.
Kehidupan mereka adalah jawaban nyata atas sabda Yesus: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).
Hari ini, 27 September 2025, semangat itu dirayakan dalam pesta iman: Pesta St. Vinsensius a Paulo, pelindung dan teladan pelayanan kasih. Perayaan ini diselenggarakan di Panti Asuhan Bakti Luhur Baumata, bersama komunitas Panti Asuhan Bakti Luhur Tuak Daun Merah dan Sikumana, anak-anak asuhan, umat stasi Baumata, serta para tamu undangan.
Misa syukur yang penuh sukacita berlangsung di pelataran SDLB Panti Asuhan Bakti Luhur Baumata, dipimpin oleh para imam konselebran dengan Romo Vikjen Keuskupan Agung Kupang RD. Krispinus Saku, Pr sebagai konselebran utama.
Suasana kebersamaan ini menjadi tanda nyata bahwa kasih Tuhan bukan hanya untuk dirasakan, tetapi untuk dirayakan dalam persekutuan.
Bagi dunia, pelayanan Alma mungkin terlihat kecil dan tak berarti. Tetapi seperti janda miskin di Bait Allah (Mrk 12:41–44), justru dari kekurangan mereka, mereka mempersembahkan seluruh hidup. Mereka menunjukkan bahwa kasih bukan soal jumlah, melainkan soal hati. Dua peser kecil dari seorang janda ternyata lebih berharga dari semua persembahan berlimpah, karena diberikan dengan pengorbanan dan cinta yang total.
Petuah iman Bunda Teresa mengingatkan kita: “Jika kamu tidak bisa memberi makan seratus orang, maka cukup beri makan satu orang saja.” Kalimat ini bukan sekadar ajakan untuk berbagi makanan, melainkan panggilan untuk menghidupi kasih dalam bentuk yang paling nyata dan sederhana. Dunia mungkin membutuhkan solusi besar, tetapi Tuhan sering bekerja melalui hal-hal kecil yang kita lakukan dengan cinta.
Dalam kehidupan nyata, satu senyuman yang tulus bisa menghidupkan harapan seseorang yang hampir putus asa. Satu telinga yang mau mendengar bisa menjadi penghiburan bagi jiwa yang terluka. Satu tangan yang merangkul bisa menyelamatkan seseorang dari kesepian yang membunuh perlahan. Dan satu roti yang dibagi, meski sederhana, bisa menjadi sakramen kasih Allah yang nyata bagi orang yang lapar. Kasih Tuhan tidak pernah absen. Hanya saja, Ia sering datang dengan cara yang tak terduga melalui kita, melalui tindakan kecil kita, melalui pilihan sederhana untuk peduli.
Memberi makan satu orang, menolong satu tetangga, mendampingi satu anak, menguatkan satu hati yang rapuh semua itu bukan hal sepele. Itu adalah pintu kecil bagi Allah untuk menyalurkan kasih-Nya yang besar.
Pelayanan terbesar dalam hidup ini bukanlah apa yang kita bangun untuk dikenang oleh dunia, melainkan siapa yang kita peluk untuk diselamatkan. Kita tidak dipanggil untuk mengubah seluruh dunia sekaligus, tetapi kita dipanggil untuk mengubah dunia seseorang dengan kasih yang kita beri. Satu jiwa yang diselamatkan, satu hati yang disembuhkan, satu kehidupan yang diberi arti itulah warisan sejati dari iman.
Karya kasih Alma adalah bukti iman yang bergerak. Doa mereka tidak berhenti di bibir, tetapi berjalan bersama orang miskin. Liturgi mereka tidak berhenti di altar, tetapi berlanjut dalam pengabdian sehari-hari. Mereka tidak membangun monumen untuk dikenang, melainkan pelukan untuk menyelamatkan.
Itulah semangat St. Vinsensius a Paulo yang hidup kembali: cinta kasih yang melampaui kata-kata, iman yang menjelma dalam tindakan nyata, dan pelayanan yang menjadi jalan menuju kekudusan. (*