Oleh : Marsel Robot, Dosen Bahasa dan Sastra FKIP Undana
Kami, keluarga berduka, masyarakat Nusa Tenggara Timur menyampaikan kabar duka cita atas berpulang saudara kita tercinta atas nama Sila Kedua Pancasila, atau nama kerennya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, pada pukul 11.01 Wita. Sementara, jenazah disemayamkan di antara kantor gubernur dan kantor DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sedikit informasi tentang riwayat sakit beliau. Sebulan yang lalu, Sila Kedua diantar oleh sejumlah ponakannya (baca, massa mahasiswa) ke halaman kantor gubernur untuk segera opname. Pasien diterima oleh Gubernur Melki Laka Lena dan sejumlah pejabat, termasuk Ketua DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ibu Nomleni.
Sila Kedua menderita sakit kronis yang sangat aneh. Sejumlah dokter ahli gizi sosial dan ahli kemo kemelaratan mendiagnosis penyakit yang diderita Sila Kedua adalah komplikasi akut. Dalam catatan medis itu terbaca, paru-parunya dalam keadaan hampa udara, jantung kering tanpa darah dihisap regulasi, dan jantung ekonomi berdetak sendu. Ada juga penumpukan daging di pembuluh darah sehingga sirkulasi dana dari pejabat kepada rakyat terputus yang menyebabkan kehidupan rakyat terseok.
Ia menderita sakit nyaris seabad. Bahkan, selama hidupnya ia hanya mengenal sakit. Keadaan semakin parah dan memuncak sejak beredarnya Pergub No. 22 Tahun 2025 tentang kenaikan tunjang sewa kos (rumah) dan sewa bemo (tunjangan transportasi) anggota DPRD Provinsi NTT bernilai sangat fantastis. Dan mengalami pendarahan hebat saat euforia event Tour De Entente dan retret alias pelesir pejabat ke Universitas Pertahanan yang menguras dompet APBD.
Sampai saat ini pihak Gubernur Laka Lena sebagai kepala unit gawat darurat belum memberikan respons terhadap sejumlah tuntutan mahasiswa untuk merevisi isi Pergub No. 22 tahun 2025 itu. Omon-omon inilah yang memangkas napas sila kedua secara perlahan. Seakan tuntutan masyarakat hanya simfoni fals yang sengaja diabaikan. Namun, ahli biroforensik di kantor gubernur memberikan kesaksian lain. Menurutnya, Sila Kedua itu dibunuh. Bukan menderit sakit. Hasil analisis biroforensik menemukan luka-luka tusukan tuts kalkulator yang menghitung jenis-jenis tunjangan DPRD Provinsi NTT.
Lebih menyakitkan lagi, kasus kematian Sila Kedua terjadi di NTT, tanah kelahirannya (1934—1938). Seandainya Soekarno masih hidup, besar kemungkinan ia berada di sisi kanan jenazah Sila Kedua. Soekarno tersedak oleh kesedihan yang tak tertahankan melihat keadaan sila kedua yang terbaring kaku di hadapannya. Dan sejam yang lalu, Soekarno membentangkan kain kafan merah putih di atas tubuh renta Sila Kedua, air mata menetes satu-satu menjadi badai yang menghanyutkan semua pejabat korup di daerah ini.
Sampai saat ini, rencana pemakaman belum diinformasikan oleh panitia. Padahal, krans bunga dari berbagai pihak sudah terpajang sepanjang jalan persis baliho di musim caleg (calon legislatif). Masalah lain, mobil ambulans yang siap mengantar jenazah ke hati para pejabat dan DPR mengalami kemacetan, lantaran tidak bisa mengisi bensin. Sang sopir tidak membawa surat pajak kendaraan untuk diperlihatkan kepada pegawai SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Akibatnya, kendaraan tidak dapat mengisi bahan bakar.
Berita duka ini telah disampaikan sejak kemarin kepada para petani yang kekurangan pupuk, kepada nelayan yang tidak melaut, kepada pedagang kaki lima yang diamputasi kakinya, kepada pedagang cabai di pasar rakyat, guru honorer. Keluarga duka telah mengimbau kepada para pelayat untuk datang secara bersamaan dengan jumlah besar agar misa requiem lebih khusuk dan doa syafaat bisa meretakkan hati yang karatan. Panitia pemakaman memberitahukan pula agar setiap pelayat menyeka keringat dengan sapu tangan kafan yang terbuat dari air mata rakyat NTT. Para pejabat dan Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan datang melayat dengan membawa selendang yang terbuat dari hati nurani.
Kami, keluarga berduka dan sejumlah keluarga besar yang terkait di dalamnya telah menerima ucapan belasungkawa dari petani pedalaman seluruh NTT. Mereka sangat sedih dan amat menyesal tidak hadir dalam upacara pemakaman karena jalan raya sangat buruk, sehingga sulit menjangkau rumah duka.
Kami menerima ucapan belasungkawa dari nelayan kecil. Mereka juga tidak datang dalam ritual pemakaman Sila Kedua oleh karena kesulitan biaya transportasi. Karena, nyaris sebulan ini jarang melaut sehingga hasil tangkapan merosot, sebagian perahu dan kapal pengakap ikan tidak mengisi bahan bakar karena pajak belum lunas.
Kami juga menerima ucapan belasungkawa dari para guru honorer, tenaga kesehatan kontrak, yang selama ini hidup di bawah bayang narasi “enggan dipecat, menunggu keberuntungan.” Meski mereka tahu, para wakil rakyatnya berpesta pora dengan tunjangan yang tinggi yang lampaui gedung kantornya.
Kita semua berdoa, semoga arwah Sila Kedua berkenan di sisi kanan Tuhan, bersama para kudus di surga menemukan kedamaian abadi di sana. Sebab, di Nusa Tenggara Timur, tempat ia dilahirkan, malah ia dikhianati, disalibkan, dan wafat dan dimakamkan di pinggir selokan sejarah, karena mungkin di sana masih tersisa serpihan-serpihan keadilan.
O… ya! Poti Pong Darat Tana selaku Amang Dedek (om) atau To’o Huk, atau Atoin Amaf dari Sila Kedua, berbisik kepada saya: katanya, “Seluruh ponakan (mahasiswa), kenyadu (aktivis) segera menyiram rampai tidak hanya di atas makam Sila Kedua, tetapi juga di tangga kantor gubernur, tempat sepatu kekuasaan menggilas tuntutan masyarakat, di lorong kantor DPR tempat palu sidang meremukkan aspirasi rakyat. Di atas pusara Sila Kedua, kalian menabur bunga, menabur pesan ketidakadilan. Sebab, setiap helai rampai adalah deraian peluh dan simfoni penderitaan rakyat. Pun palu sidang DPR telah mematikan jentik-jentik hati nurani.(#)