Fortuna

Pater Dominikus Moi, SVD Berkarya Misi di Tempat yang Tidak Diinginkan

oleh : Simon Seran

Pater Dominikus Moi, SVD. Foto ; Ist

Pada tanggal 28 Juli 1999, Diakon Dominikus Moi, SVD mengikrarkan janji hidup  selibet melalui pentahbisan Imam Katolik di Hadakewa Lembata provinsi NTT. Sebelumnya,   para Diakon diberi kesempatan melamar pada tiga negara yang akan menjadi ladang untuk bermisi. Pilihan satu dan dua adalah negara yang paling diminati, sementara pilihan 3 hanya pelengkap dari sebuah syarat untuk sebuah surat lamaran.

“Akhirnya saya diutus ke negeri Taiwan yang merupakan alternatif pilihan ketiga sebagai ladang misi, dan  negara Taiwan  bukan saya inginkan”, tulis Pater Domi melalui email yang sebelumnya diwawancarai tertulis melalui WA.  Lanjutnya, “Karena itu syarat yang ketiga di atas, betul betul menjadi pelengkap penderita di awal misi saya”, tutur Pater.

Demikan obrolan dengan Pater Domi ketika membahas karya misinya sebagai Pastor di negeri Taiwan. Pater Domi pun secara gamblang dan terbuka  berkisah. Menurutnya, semua tantangan itu ibarat sebuah tanjakan maka perutusan ke negeri Taiwan, merupakan tanjakan pertama yang harus dilalui dalam perjalanan panggilan karena tidak dikehendakinya. Namun, kebutuhan serikat maka mau dan tidak mau, suka atau tidak suka harus dijalani dengan iklas.

Bagi Pater Domi, Ini merupakan tanjakan yang menantang dan terasa berat karena keinginan dia harus ditiadakan demi kebutuhan serikat. Kaul ketaatannya betul diuji. Tahun 2001 Pater Domi ke Taiwan untuk bermisi. “Ladang misi Taiwan adalah tanjakan kedua dalam perjalanan panggilanku”,

Adapun kendala-kendala dalam perutusan misi ke negeri Taiwan disebabkan oleh beberapa alasan; Pertama, harus belajar bahasa China dengan ribuan karakter dan membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun untuk belajar. Alasan kedua, situasi gereja Taiwan dimana kebanyakan paroki dengan jumlah umat yang sangat sedikit. Sebagai contoh, tahun 2004, dipercayakan menjadi  Pastor Paroki di mana  jumlah umat hanya 15 orang dengan kisaran usia 60 tahun ke atas. Menghadapi situasi ini, dia merasa ada yang kurang.  “Untuk apa saya berada disini sementara di Indonesia ada ribuan umat yang sulit mendapatkan seorang Pastor hanya untuk sekedar melayani misa?”, terbersit  petanyaan aneh dalam hatinya.

Dalam perjalanan panjang ziarah hidup bermisi di negeri Taiwan, tanpa disadari sudah 25 tahun dilalui dengan segala suka dukanya. Pater Domi sanggup menjalani karya pastoral di tempat misi yang dulunya ia tidak inginkan. Sekarang Pater pun betah dan senang untuk tinggal bermisi di Taiwan. Ada orang sempat bertanya kapan balik ke Indonesia untuk bermisi? saya menjawabnya bahwa saya belum berpikir untuk kembali karena saya merasa bahagia di tempat saya berada sekarang,” katanya.

Melihat kembali kisah perjalanan panggilan, Pater Domi mengalami cerita pahit manisnya bermisi di tanah orang hingga saat ini. Menurut Pater, ada dua hal  yang mengantarnya pada permenungan dalam ziarah panjang  panggilanNya.

Pertama, apa yang tidak diinginkan belum tentu tidak mendatangkan kebahagiaan. “Kalau kita terbuka untuk menerima dan menjalaninya dengan tulus hati, kebahagian selalu di depan kita”, tutur Pater Domi penuh yakin. China-Taiwan bukan pilihannya, tapi sampai saat ini masih bertahan dan mau bertahan untuk tetap tinggal di Taiwan. “Karena itu saya sangat mengaperiasi ungkapan yang mengatakan bahwa jangan cepat dimuntahkan keluar kalau itu pahit dan jangan cepat ditelan kalau itu manis. Saya bahkan berbangga bahwa dengan bisa berbahasa China saya bisa berkomunikasi bahkan sepertiga dari penduduk dunia. (Blessing in disguise)”, ungkap Pater Domi dari  lubuk hati terdalam. 

Kedua, misi pastoral, tidak menyangkut jumlah umat dalam penggembalaan tetapi menyangkut pelayanan. “Makna pelayanan bukan terletak pada berapa orang yang saya layani, tetapi terletak pada kemauan dan ketulusan saya untuk melayani. Karena untuk saya, satu kali misa untuk satu orang sama nilainya dengan satu kali misa untuk seribu orang. Sampai pada permenungan inilah yang membuat saya bertahan untuk terus bermisi di Taiwan”, ungkap Pater Domi seolah bernasar atas misi pastoralnya.

Pada awal obrolan untuk menggali proses hidup membiara, Pater Domi mengungkapkan, “Pertama-tama thanks ya atas permintaan ini. Saya kira satu hal yang bagus kalau melihat ke belakang apa yang telah kita lalui sebagai momen untuk refleksi demi sesuatu yang lebih baik ke depan. Karena itu permintaan untuk membagi kisah tentang hidup panggilan saya, dengan senang hati untuk disharingkan”.

Lebh jauh, Pater Domi, alumni angkatan perdana SMAN Lewoleba itu menuturkan bahwa keinginan untuk menjadi imam itu sudah ada sejak masih kecil dibangku sekolah dasar, karena tertarik dengan kehidupan Pastor paroki.

“Sekalipun sekedar keinginan, tapi itu dipelihara terus dan dilakukan dengan kemauan dan kesadaran sendiri”, tuturnnya.  

Hal ini diwujudkan dengan melakukan korespondensi dengan berbagai serikat sewaktu SMA, namun  pada akhirnya tidak ada satu Biara pun menerimanya. Domi tidak putus asa.

Usai tamat SMA (1987) sempat satu tahun menganggur di kampung halamannya di Kedang sambil membantu orang tua mengumpulkan asam dan menjual untuk mendapatkan uang dengan tetap merawat dan memelihara benih panggilan yang sudah tersemai dalam  jiwanya.

Akhirnya Domi memutuskan masuk Kelas Persiapan Atas (KPA) Seminari San Dominggo Hokeng selama 2 tahun lalu diberi kesempatan untuk melamar jadi imam keuskupan atau jadi imam serikat.

“Saya memutuskan masuk Serikat Sabda Allah (SVD) dengan alasan dididik sebagai imam biarawan dalam konteks budaya karena itu, SVD menjadi satu satunya pilihan”, kata Domi memberikan alasan.

Proses lanjut untuk menjadi Imam ordo SVD pun dijalani. Tahun 1992-1999, mengikuti studi di Seminari Tinggi Ledalero pasca  melewati jenjang novisiat di Nenuk-Timor pada tahun 1991.

Kisah perjalanan selama kuliah di Ledalero, tidak banyak mendapat hambatan berarti, dalam hubungan dengan soal akademi dan soal panggilan. Pada tahun 1999, menjadi puncak perjuangan menuju ikrar dan kaul hidup selibet untuk menjawabi panggilanNya. Tepatnya tanggal 28 Juli 1999, Diakon Dominikus Moi, SVD ditabiskan menjadi Imam SVD di Hadakewa bersama enam teman lainnya, yang mana 3 dari 7 yang ditabiskan adalah tamatan SMA Negeri Lewoleba. Dua lainnya adalah Pater Beni Leu,  SVD,  sekarang bertugas di Califonia (USA) dan Romo Paulus Nunang,  Pr,  sekarang bekerja di keuskupan Larantuka.

Sebagai rasa syukur atas kasih karunia Allah atas hidup membiara, maka pada tanggal 5 Juli 2024, Pater Domi merayakan pesta perak, 25 tahun hidup membiara melalui persembahan misa syukur yang dirayakan di desa Roho, Stasi St. Yusup Leudawan Paroki Maria Pembantu Abadi Aliuroba Kedang Lembata.

Misa syukur dengan konslebran utama P. Dominikus Moi, SVD didampingi Pastor Deken Lembata, RD. Philipus Sinyo da Gomez, (pengkotbah), Romo Paroki, RD. Anton Kia Uba, P. Beny Leu, SVD, P. Rikard Pasang, SVD, P. Bonevasius Tawangnaya, SVD, RD. Polce Nunang, dan beberapa Pastor lainnya.

Perayaan itu dihadiri oleh Suster, Frater dan umat Paroki.  “Dia dengan segala keterbatasannya telah menemaniku, telah menempahku menjadi manusia. I am proud of you, almamater and wishing you: AD MULTOS ANNOS”, tutur Pater Domi mengakhiri perbincangan. (*

Kantor Pusat Kopdit Pintu Air. Foto : Fortuna

%d blogger menyukai ini: