Fortuna

Melacak Firdaus Yang Hilang dari Gunung Koya-Koya, Pesona Terbaik di Alor

Pesona menuju puncak koya – koya. Foto : Reygina WI.

Oleh : Gabriel L. Tang, Kontributor Majalah Fortuna, Alor

KALABAHI, fortuna.press – Gunung Koya-Koya merupakan gunung tertinggi di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Ketinggiannya mencapai 1800 meter diatas permukaan laut (dpl). Letaknya di Kecamatan Alor Timur dengan jarak tempuh kurang lebih 90 km dari Kalabahi, Ibu Kota Kabupaten Alor. Untuk mencapainya Anda harus melewati beberapa kecamatan ke arah Timur menelusuri perjalanan sepanjang pantai sejauh sekitar 70-an kilometer lalu berbelok mendaki pegunungan Aserpat kurang lebih 20 kilometer. Dari punggung gunung ini, kendaraan mobil atau motor yang ditumpangi sebaiknya berhenti di Cobra, Desa Tanglapui Timur sebagai pintu masuk atau titik star pendakian menuju Puncak Koya-Koya.

Dari sini para tamu atau pendaki dapat menginap atau singgah di Pondok Gunung Koya-Koya milik Bapak Marthen Molana. Jarak yang jauh tidak akan terasa melelahkan karena Anda akan disuguhkan dengan pemandangan alam nan indah serta hawa laut dari Teluk Benlelang, Kecamatan Alor Tengah Utara hingga Kecamatan Lembur. Dari titik ini, mata anda akan dimanjakan dengan pesona hamparan sawah nan hijau dari balik Pegunungan Bukapiting, Kecamatan Alor Timur Laut juga pemandangan sebelah utara laut Flores hingga pendakian gunung Aserpat. Spot ini menyuguhkan deretan pegunungan yang membentang di Kawasan Alor Timur. Perlu anda ketahui bawa gunung Koya-Koya merupakan gunung diatas gunung dengan sajian puncaknya yang sangat eksotik.

Bagi sahabat traveler atau pendaki yang ingin menyaksikan pesona pegunungan terindah di Alor ini wajib melaporkan diri di Kepala Desa dan Pemilik Pondok Wisata Gunung Koya-Koya. Tujuannya agar dapat diantar oleh warga yang sudah disiapkan sesuai profil tamu. Warga lokal dan orang-orang profesional di desa ini mempunyai standar pelayanan untuk tamu dengan jenjang usia dan fisik. Mereka juga menyiapkan sejumlah peralatan yang wajib dibawa untuk tamu dengan spesifikasi masing-masing baik untuk yang bisa berjalan atau mendaki dengan cepat ataupun mereka yang lamban, termasuk segala peralatan untuk menginap di seputaran puncak gunung manakala dibutuhkan.

Dikala Mentari pagi menyapa dari puncak gunung koyak-koya. Foto : Geby Tang/Fortuna

Aroma Mistis dari Balutan Panorama

Konon gunung Koya-Kota masih menyiratkan aroma mistis yang paling kuat dari beberapa gunung yang berada di Kepulauan Alor diantaranya: Gunung Muna (1700-an m dpl), G. Sirung (1600-an), G. Tuntuli (1600-an), G. Maru (1500-an), dan Gunung Mako (1300-an dpl).

Pandangan umum warga masyarakat Alor maupun dunia dulu hingga sekarang bahwa Gunung Koya-Koya adalah gunung yang angker, karena merupakan tempat pertemuan para suanggi dari seluruh dunia. Hal ini didukung dengan telah terjadi beberapa peristiwa aneh yang dialami dan dituturkan para pengantar maupun tamu yang berkunjung kesana. Alkisah, banyak tamu yang tidak solid akan tidak bertemu saat kembali dengan jalan masing-masing. Yang bernasib baik akan bertemu di tempat semula, namun banyak pula yang tidak bersama- sama saat kembali. Memang semua pendaki bisa tiba kembali dititk star dengan selamat namun tiba dengan waktu yang berbeda-beda. Kisah lain, ada juga yang bertemu dengan binatang yang konon bisa berbicara dengan bahasa manusia. Diyakini hal itu terjadi karena di masa silam ada manusia yang karena pelanggarannya dikenai sanksi atau hukuman menjadi binatang, serta kejadian aneh lainnya.

Terlepas dari kebenaran opini, mitos atapun pandangan publik yang tersiar itu, media ini pada Jumad (31/11/2022) bersama seorang wisatawan mancanegara asal Jerman berangkat dari Lokasi Penginapan Perikanan Sebanjar langsung menuju Koya-Koya. Perjalanan di hari Jumad itu mendapatkan beberapa keuntungan, paling kurang kami dapat singgah di beberapa pasar tradisional yang berada di pinggir jalan guna membeli bekal perjalanan. Ada Pasar di Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat Laut dan suasana di jalan raya agak lengang, karena sebagian masyarakat yang beragama Islam menjalankan ibadah Jumad, sehingga kami dapat memacu sepeda motor kami melalui satu-satunya jalan negara yang melintasi jalur ruas jalan Kalabahi – Alor Timur berjarak 104 kilo meter dengan kecepatan maksimal. Demikian halnya pendakian Aserpat yang lancar jaya meski dalam kehati-hatian karena apabila tidak ekstra hati-hati, maka akan terjun bebas kejurang atau terguling ke lautan.

Perjalanan menuju puncak gunung Koya-Koya. Foto : Geby Tang/ Fortuna

Dipandu Warga Lokal

Rasa ingin tau yang tinggi akan story Gunung Koya-Koya dan keadaan puncak yang sulit dideteksi radar serta ingin menyaksikan fenomena terbitnya Sang Mentari di ujuk timur tersebut memicu saya dan Flori, Petualang asal negara penguasa Hitler ini untuk segera ke puncak gunung dan menginap disana.

Namun rencana perjalanan dari Sebanjar yang memakan waktu dan jarak tempuh sekitar 17-an kilometer itu mengantar kami harus tiba di kaki pendakian menjelang sore. Melihat waktu yang mepet maka oleh Juru Kunci, Bapak Marthen Molana, kami diminta untuk mengurungkan niat. Alasannya, yakni sarana prasarana tenda yang tidak dimiliki, stok persediaan kayu bakar yang berkurang dan basah, karena suasana hujan, dan dinginnya malam di puncak gunung yang tidak bisa dinikmati oleh pengantar. Kami pun akhirnya menunda perjalan hingga pukul 02.30 dini hari.

Kesempatan itu dimanfaatkan pemamdu untuk menjelaskan berbagai keperluan dan aturan-aturan yang wajib ditaati oleh pengunjung seperti tidak boleh mengatakan kata-kata kasar atau makian, tidak boleh mengganggu satwa yang ditemui dan dilarang memotong atau mengambil aneka tumbuhan yang ditemui dalam perjalanan.

Sekitar pukul 18.00 atau jam 06.00 sore, kami mendiskusikan team atau grup pendakian yang terdiri dari dua grup dengan setiap group beranggotakan dua orang. Grup 01 bersama Herr Flori yang berjalan cepat sama seorang pengantar pemuda dari kampung dan grup 02 kru media Fortuna bersama seorang anak muda yang sudah sering turun naik ke puncak koya-koya.

Sesuai jadwal atau time schedule yang telah disepakati bersama, kami kemudian bangun pagi lebih awal dan mempersiapkan beberapa stock makanan sebagai bekal yang telah kami siapkan untuk perjalanan pergi pulang seharian di lokasi puncak gunung dimaksud.

Penganan lokal seperti jagung titi dan kenari serta minuman teh yang kami beli di pasar Jumad dan beberapa pasar tradisional lainnya seperti di Pasar Mebung, Kecamatan ATU dan Pasar Nailang, Kecamatan ATL kami bawa serta menemani treveling kami ke puncak.

Nah perjalanan pada subuh yang gelap itu membutuhkan penerangan berupa senter asli bukan senter hand phone, karena banyak jurang terjal hingga 90 bahkan 100 derajat yang berada di pinggiran kanan kiri jalan. Hal ini sangat penting bagi orang yang baru pertama kali menelusuri perjalanan di tengah hutan belantara menuju puncak gunung koya-koya.

Kekayaan Flora dan Fauna di kawasan gunung koya-koya. Foto : Geby Tang/ Fortuna

Kekayaan Flora dan Fauna

Perjalanan ke puncak gunung mirip hidung manusia menengadah ke langit itu biasanya menelan waktu 1 jam atau 1.30 menit bagi pemula atau pejalan yang lebih santai dan 30 hingga 45 menit bagi pejalan cepat yang telah mengetahui kondisi jalan. Lama dan berlelah-lelah itu pasti.

Meskipun demikian Koya-Koya menawarkan kekayaan Flora dan Fauna yang sangat kaya. Ekosistem Koya-koya tidak saja menjadi satu spot wisata mengagumkan tapi juga sebuah referensi edukasi yang mencengangkan tentang lingkungan dan keragaman hayati. Ada banyak hal unik dan menarik yang bisa Anda temui dikala mentari mulai muncul di ufuk Timur, disana anda bisa melihat dari jarak dekat satwa rusa sangat familiar, tidak ada tanda-tanda buas atau liar. Ketika dijepret dengan kamera pun dia enggan merespons apalagi menolak diabadikan. Pun disana ada ciutan-ciutan aneka jenis burung baik nuri yang bergerombolan menyanyi mengiringi hadirnya sang penerang surya. Dari balik angin similar ada ciutan burung beo, kakatua, dan koak menambah suasana apik alam bumi, langit dan jagat raya menyatu dan seakan-akan ada dialog syukur atas hari baru dan memohon doa restu agar dapat memperoleh makanan dan kembali dengan selamat ke peraduannya.

Pada titik ini, terkadang ada rasa bersalah atas nafsu keserakahan manusia yang tidak memperdulikan kehidupan satwa dan membantai tanpai harus memelihara agar tidak punah.

Tidak hanya itu, kekayaan tumbuh-tumbuhan dari batas ketinggian sangat nampak, tanam-tanaman yang munkgin tidak pernah temui di dataran rendah tapi hidup rindang tanpa patahan di ketinggian tersebut, seperti: pohon senggigi gunung, bunga edelweis, kayu putih berukuan jumbo yang kering dengan sendirinya menciptakan aroma minyak kayu putih yang menyegarkan nafas dan paru-paru. Perlu anda ketahui, pesona ini merupakan hamparan alam yang masih sangat lestari dan asri.

Nah ketika mentari makin menghangat dan embun pagi mulai menguap, raga ini terasa makin longgar dan segar, meskipun urat otot terasa sedikit sakit dan penat. Namun karena perjalanan sambil menikmati pemandangan alam yang sangat indah kehijauan bagai permadani serta hamparan lautan dan beberapa pulau yang nampak dari kejauhan. Praktis, rasa sakit dan penat ditubuh seakan hilang seketika. Disini mata dan bathin telah total menemukan sesuatu yang berbeda dan hanya indah untuk dinikmati tanpa kata.

Firdaus yang Hilang

Adapun dalam perjalanan terdapat sejumlah stasi perhentian untuk sekedar melepas lelah atau menarik nafas sejenak. Kita seakan diajak menemukan jati diri kita  yang terdalam untuk bisa mengambil sikap yang lebih serasi dengan Tuhan sebagai pencipta alam jagat raya sembari menegok hewan atau binatang hutan yang jinak tanpa diparonisasi, atau menikmati tumbuhan dan bunga-bunga aneka warna. Menariknya sepanjang perjalanan tim juga disuguhi potret aneka jenis mawar yang memberikan kesan sangat mendalam bahwa itulah sebenarnya surga, Paradise atau Firdaus yang hilang atau masih tersisah di bumi Nusa Kenari.

Panorama ini pun akhirnya secara perlahan-lahan mematahkan kesan angker, sirnah dengan adanya realitas kehidupan yang dialami secara langsung.

Kisah dan pesona indah yang dialami sepanjang perjalanan itu semakin tuntas ketika kami mencapai puncak gunung itu dan menikmati hawa yang sejuk di subuh yang ramah itu. Tidak menunggu lama, jepretan kamera mulai melingkar disemua  sisi puncak yang menawarkan surga yang sesungguhnya, indah nian puncak Koya-koya kala itu.

Foto : ALor Exotic

Tim akhirnya menghabiskan waktu beberapa jam di puncak untuk mengekslporasi keindahan puncak koya-koya hingga menghantar arahan pemandu agar segera turun kembali.

Perjalanan pulang tidak menghabiskan waktu yang lebih lama, karena menurun dan beberapa dataran karena seakan berada di semacam istilah punggung kuda sehingga bisa menarik nafas sejenak.

Treveling nan jauh yang meletihkan dari sisi fisik, namun kekuatan spiritual alamiah yang kami pelajari dari keserasian alam di Gunung Koya-Koya membuat mental spiritual kami makin kokoh.

Flory, Wisatawan asal Jerman. Foto : Geby Tang/Fortuna

Pada perjalanan pulang di perhentian Aserpat, Tuan Flory dari Berlin itu bertanya:

“Gabriel. Why we must go to the peak of Koya-Koya to see sunrice?”

Saya secara diplomatis menjawab sebagaimana yang pernah diceritakan Bung Karno, bahwa kita merah putih lambang NKRI adalah merah lambangkan kecerahan dan kemakmuran sebagaimana cerahnya sang fajar di pagi hari. Pun, kemakmuran itu berasal dari timur dan putih berarti: suci atau pun ketulusan. Untungnya, bahwa ketika sorenya ada kejadian memamah sirih pinang dan kapur yang berwarna putih dan menghasilkan warna merah, saya menjelaskan, bahwa Indonesia atau pun lambang negara bendera merah dan putih secara budaya berasal dari Sirih, Pinang dan Kapur, sehingga gampang ia pun mengerti bahasa simbol dari Mencari Matahari sebagai lambang kehangatan, kecerahan dan kemakmuran serta keindahan Nusantara.

“We look for the sun not only as a thing but also as a symbol of spirit as power to get prosperity. I wil say that from there you can get a power to work successfully.

Dan dia tidak membantah lagi.

Semoga potensi gunung koya-koya dan gunung yang lain dapat mendatangkan juga banyak tamu dan wisatawan dari berbagai daerah di dunia sehingga masyarakat dan bangsa dapat mencapai kesejahteraan, khususnya juga masyarakat sekitar objek wisata alam. Wasalam….. (*

Kantor Pusat Kopdit Pintu Air. Foto : Fortuna

%d blogger menyukai ini: