Fortuna

Maaf Bu Kartini, Terang Itu Beranjak Redup dan Kini Adab Kami Mulai Gelap

“Ibu dulu melawan penjajah maskulin dari imperialisme dan feodalisme. Sekarang perempuan menjerumuskan perempuan lain untuk uang dan polularitas”

Raden Ajeng Kartini. Foto : Istimewa/Fortuna

Oleh : Agimus Geor,S.Fil (Alumnus STFK Ledalero, Maumere)

Tanggal 21 April 1897 di tanah Jepara Pulau Jawa, lahirlah sosok seorang perempuan yang bernama Raden Ajeng Kartini. Perempuan satu ini dibesarkan dlm kultur keningratan, feodalisme dan patriarkhi Jawa. Lazimnya perempuan sekelas R.A Kartini hidupnya sudah pasti mewah, tak perlu sekolah, tak perlu kerja karena ada dayang-dayang. Cukup berdandan, dipingit dan menanti kapan dilamar pria berkelas pilihan orang tua.

Perempuan yang satu ini agak aneh, karena sesungguhnya dalam kelembutan ia sedang meradang dan dalam ketaatannya ia sedang memberontak. Mungkin ayahnya adalah seorang guru agama dan visi akan pendidikan mempengaruhinya, maka kebebasan bagi anak perempuan dibuka sedikit bagi R.A Kartini. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Berkat kegigihannya kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Sekolah yang didirikannya bernama “Sekolah Kartini”.

Visi Emansipasi dibarengi aksi mengeluarkan kaum wanita dari kebodohan dengan Pendidikan menjadi tonggak sejarah perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Tanggal 2 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No.108 Tahun 1964, tentang penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional sekaligus tanggal 21 April setiap tahun, diperingati sebagai hari besar yang mengingatkan kita akan Perjuangan Kartini tentang kesetaraan laki laki dan perempuan dlm peradaban bangsa.

Dari sinilah gelapnya kebodohan perempuan beranjak sirnah dan terbitlàh terang kebebasan, kesetaraan gender di bumi Indonesia. Kurang lebih 102 tahun  perjalanan bangsa yang memerdekakan perempuan kini berbuah manis.

Di kampung saya (Doreng, Kabupaten Sikka, red) tidak ada lagi orangtua yang berpandangan “sewa mè du’a e’o guna loning odi rìmu bisa ra inga tengang wi ata lepo orin pehan” artinya “Tidak ada guna menyekolahkan anak perempunan karena ketika mereka pintar meereka akan diboyong suami dan pergi menjadi terang di keluarga suami”

Peradaban Indonesia diwarnai hadirnya perempuan perempuan hebat. Presiden kita pernah perempuan, Menteri perempuan, politisi perempuan, pejabat daerah/desa perempuan, birokrat perempuan, guru perempuan, dokter perawat perempuan, polisi/tentara  perempuan, ilmuwan perempuan, pilot perempuan, pengusaha perempuan, petani/buruh/nelayan perempuan, sopir taksi/ojek perempuan, bahkan lg tren sekarang kepala keluarga perempuan tampa harus menikah. Sungguh luar biasa capaian ini.

Tapi maaf BU KARTINI, dibalik visimu yang tercapai ini, saya juga mulai khawatir akan realitas yang lahir dari riak-riak Emansipasi  yang kebablasan.

Banyak anak perempuan kami mulai mengingkari identitas mereka. Mereka kurang suka memakai gaun panjang dan tertutup. Mereka suka dress yang sempit, mini dan terbuka. Katanya tampil modis trendy dan kekinian.  Fakta dibalik ini, mulai dari designer, industri pakaian, model tren center, marketer didominasi oleh perempuan. Ibu dulu melawan penjajah maskulin dari imperialisme dan feodalisme. Sekarang perempuan menjerumuskan perempuan lain untuk uang dan polularitas.

Dahulu ibu mengandalkan pena dan kertas untuk menulis semua pandangan, cita cita, bahkan curahan hati terdalam. Jarang sekali bahkan tidak ada satu gambar atau tulisan tentangmu yang memuat tendensi ùntuk popularitas diri atau eksploitasi kodrat keperempuanan untuk melawan penindasan atau sekedar pamer kelebihan-kelebihanmu. 

Maaf ibu.. anak perempuan kami sekarang mengandalkan gadget untuk mendokumentasikan sekaligus mempublikasikan semua hal. Dulu ketika anak atau suami sakit Ibu bergegas mencari obat dan merawatnya dengan lembut. Tapi sekarang perempuan kami memotretnya dan membuat status di media sosial “cepat sembuh ya”

Dulu Ibu mungkin menulis semua pengalaman ibu dalam diary. Tidak ada untaian kata kebencian, tidak ada gosip, tidak ada rayuan, tidak ada desahan yang menggoda. Ibu fokus pada agenda perjuangan dan pikiran cerdas untuk kebangkitan kaummu. Maaf ibu…perempuan kami jaman now lebih suka pamer privasi, gosip/hoax, hate speech, dan mengeksploitasi martabatnya untuk mendapat followers. Perempuan atau siapapun yg membuat konten  edukatif biasanya sepi followers.

Dulu ibu dipingit dan terbatas sekali berinteraksi dengan lawan jenis, maklum jaman itu. Mungkin ibu punya idola, punya lelaki pujaan hati tapi kultur melarang ibu. Perempuan kami zaman now, lebih agresif. Mudah digoda Adam bahkan lebih dahulu menggoda Adam. Mereka mengatakan “Selingkuh itu Indah” Mereka membenci bahkan ada yang membunuh orangtua mereka karena protektif. Mereka akan mudah meninggalkan temannya yang selektif bergaul karena dianggap KUPER.

Dahulu mungkin ibu sangat membenci Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Ibu merindukan peradaban yang setara jujur dan adil. Ibu menangis karena banyak kaummu yang kerap jadi korban. Maaf ibu…sekarang terbalik banyak perempuan bergelar, pintar, berkelas dan mempunyai jabatan yang justru menjadi penikmat sekaligus pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Dulu perempuan diperalat lelaki untuk misi kejahatan mereka. Sekarang masih ada bahkan ada perempuan yang memperalat perempuan lain untuk misi misi kejahatan mereka.

Dulu ibu adalah orang terdepan mengenakan hijab, berakhlak soleha karena rajin solat, membaca QurAn dan mengikuti petuah dari ulama yang mulia. Maaf.. ibu tidak sedikit perempuan kami jaman ini yang tampil soleha tapi membenci perbedaan bahkan jadi teroris untuk mendukung agenda politik golongan tertentu yang berbalut agama.

Dahulu sekolahmu sepi murid perempuan karena situasi sosial budaya yang membatasi. Maaf ibu sekarang murid di sekolah-sekolah kami dibanjiri perempuan. Dikampung ibu waktu itu banyak ibu rumah tangga buta huruf. Di zaman kami banyak ibu rumah tangga berpendidikan serenda rendahnya SMA. Ibu ibu zaman old…pintar masak, pintar mengasuh anak, sederhana tapi menawan. Ibu ibu kami jaman ini lebih tinggi pendidikannya tapi suka memesan makanan online, lebih sibuk update status, goyang tiktok dan merekayasa penampilan biar tetap cantik dan trendy. Dan, masih banyak lagi fakta fakta kontroversi lainnya

Rupanya terang yang ibu idealkan kini kembali redup. Mungkin juga ibu sudah melakukan reinkarnasi pada pejuang-pejuang feminisme sekarang. Tapi saya tidak tahu apakah perjuangan itu cukup sampai mendapat posisi nyaman dalam kekuasaan??? Belum ada hasil signifikan yang saya rasakan. Pejuang kami berhenti di workshop, seminar dan sosialisasi dan regulasi. Perubahan akhlak selanjutnya tunggu kesadaran….Sampai kapan???? SELAMAT HARI KARTINI. (Sumber : Postingan Status FB Aggy Geor)

Kantor Pusat Kopdit Pintu Air. Foto : Fortuna

%d blogger menyukai ini: