“Hal ini kita lakukan karena rumah merupakan benteng berlindung dan berpikir untuk kehidupan”
Presiden Joko Widodo telah menetapkan 62 wilayah di seluruh Indonesia sebagai daerah tertinggal. Penetapan tersebut ditandai dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpes) 63/2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020 – 2024, seperti dikutip pada laman Sekretariat Kabinet, Jumat (8/5/2020).
Di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri terdapat 13 Kabupaten yang masih terkategoti tertinggal termasuk Kabupaten Lembata.
Melihat fakta itu, John Batafor, seorang Pemuda di Lembata, merasa terpanggil untuk membawa perubahan bagi daerah kelahirannya dengan membedah sejumlah rumah warga.
Sebelumnya, John Batafor yang adalah Pegiat Literasi dan Pengelola Komunitas Taman Daun Lembata itu telah melakukan banyak aksi-aksi sosial.
Aksi dimaksud seperti mendistribusikan ratusan hingga ribuan tong air cuci tangan ditengah pademi covid-19 untuk warga masyarakat, Pustu, Polindes, Puskemas, Rumah Sakit bahkan kantor DPRD Lembata.
Ia juga membagikan masker, sembako, hingga kini bersama orang muda di Komunitas Literasi Taman Daun telah melakukan aksi sosial lain yakni membedah rumah tidak layak huni milik warga.
Bedah Rumah Layak Huni
Membantu mendirikan tempat tinggal berarti membantu mengeluarkan mereka dari satu persoalan hidup yang selama ini membuat mereka tertimbun di dalam penderitaan.
Hal ini dikarenakan rumah merupakan benteng berlindung dan berpikir untuk kehidupan.
“Saya dan Komunitas saya “Taman Daun” sudah dan sedang berusaha membawa Lembata keluar dari daerah tertinggal termasuk salah satunya dengan membangun rumah layak huni bagi warga, ujar John dalam rilisnya kepada www.fortunapress , Kamis, (9/7)
Di Lembata katanya, masih sangat banyak rumah yang tidak layak huni sebagaimana standar minimal karena beratap gewang atau pelepa, berdinding pelupu, berlantai tanah serta tidak memiliki fasiltias mandi cuci kakus (MCK) yang layak.
Itulah indikator mengapa Lembata ditetapkan sebagai daerah tertinggal karena selain infrastruktur jalan yang parah, juga terdapat banyak tempat tinggal masyarakat yang sungguh menyedihkan.
Baginya, manusia memang memiliki kebutuhan jasmani dan aspek rohani. Memahamai aspek jasmani salah satunya adalah perumahan.
Ketika seorang telah memiliki kondisi rumah yang sehat dan segar maka akan berpengaruh pada aspek non fisik. Aspek yang dimaksudkan itu terdiri atas mental, jiwa, atau hati yang bersangkutan, urai sosok low profile ini menjelaskan.
Ketika lingkungan tempat tinggalnya dalam hal ini rumah yang bersih dan layak maka yang bersangkutan akan sehat untuk berpikir dan bertindak lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan membantu mendirikan tempat tinggal berarti membantu mengeluarkan mereka dari satu persoalan hidup yang selama ini membuat mereka tertimbun di dalam penderitaan itu.
Angkat Kembali Warisan Budaya “Gemohing”
Sebagai daerah tertinggal, Pemuda Lembata ini lakukan aksi bedah rumah dan ajak Kaum Muda Lembata angkat kembali warisan budaya “Gemohing”
“Tidak sulit sebenarnya jika kita kembali menyadari arti pentingnya warisan leluhur yakni budaya Gemohing (Gotong royong),” ujar John Batafor
Gemohing kata dia, harus kembali dilihat sebagai aset atau kekayaan kolektif yang bernilai tinggi. Karena dapat menjadi alat yang sangat efektif bagi kita dengan sumber-sumber daya yang sudah ada.
Salah satu faktor utama yang membuat pola hidup saat ini semakin jauh dari rasa kekeluargaan dan budaya gotong royong luntur adalah karena manusia semakin terbiasa memposisikan diri sebagai objek.
Manusia (warga masyarakat,red) juga, konon menganggap persoalan di masyarakat merupakan tanggungjawab pemerintah.
Oleh karena itu, saya mengajak kaum muda untuk kembali mengangkat warisan gemohing dengan memposisikan diri kita sebagai subjek lalu bersama-sama memberantas kemiskinan di Lembata,” ajaknya.
Orang miskin tidak sekedar bisa dimaknai sebagai kekurangan harta kekayaan. Tidak memiliki lapangan pekerjaan, melainkan oleh karena yang bersangkutan juga miskin aksi bahkan juga miskin hati.
Angka kemiskinan dinegeri ini masih relatif besar, termasuk Lembata. Padahal Lembata sendiri akan berusia 21 tahun pada 12 Oktober mendatang.”
Karena itu, sebagai generasi muda dirinya merasa terpanggil untuk melakukan tugas mulia itu dan melanjutkan perjuangan para tokoh Lembata yang telah bersusah payah sampai Lembata bisa berdiri sebagai sebuah kabupaten otonom di Propinsi NTT.
Baginya, tidak sulit untuk membawa daerah Lembata keluar dari persoalan kemiskinan.
Dikisahkan, dahulu para pejuang otonomi dulu sanggup berjalan kaki berhari-hari dari desa dan bertemu di Hadakewa demi Statement 7 Maret 1954 kala itu.
Dengan segala keterbatasan saat itu, namun mereka sanggup menjadikan Lembata sebagai sebuah kabupaten hingga terkenal di mata dunia saat ini.
“Lalu kita yang saat ini yang telah dipermudah dengan kemajuan teknologi dan segala macamnya, masihkah hanya mampu mengeluh dan berteriak di tempat melihat segala bentuk penderitaan termasuk persoalan kemiskinan,”tanyanya retoris. (tim/42na)