Fortuna

KAWIN TANGKAP DI SUMBA, SALAH KAH?

(Sebuah Refleksi di Hari Keluarga Nasional, 27 Juni 2020).

Oleh : Ir. Agustinus Umbu Hera

“Banyak fakta  dimana keluarga-keluarga yang terbentuk melalui proses bawa lari anak gadis orang atau Palaingidi Mawini, kehidupan rumah tangganya cukup harmonis dan melahirkan anak-anak yang berhasil”

Beberapa hari terakhir, pulau Sumba cukup viral dimedia. Pemicunya adalah informasi tentang “kawin  tangkap” yang lazim terjadi di Sumba khususnya Sumba Tengah.

Bukan saja dimedia sosial tetapi juga di media cetak maupun elektronik. Ragam komentar bermunculan– bicara tentang “kawin tangkap”

Sudah banyak pendapat yang dikemukan antara lain dari Ketua DPRD Kabupaten Sumba Tengah, Drs.Tagela Ibi sola.

Dalam akun facebooknya “Umbu Tagela”, Ibi Sola mengatakan kawin tangkap bukan adat tetapi adalah  perilaku buruk yang dilakukan masyarakat, yang kemudian dilegalkan dalam peristiwa adat sehingga seakan-akan menjadi peristiwa adat.

Senada dengan itu, Aktivis Perempuan yang juga Ketua DPRD Propinsi  NTT, Ir. Emilia Nomleni menilai bahwa peristiwa kawin tangkap yang terjadi khususnya di Sumba merusak harkat dan  martabat kaum perempuan.

Peristiwa itu menurut Emi ditenggarai akan membuat para gadis atau kaum perempuan di Sumba hidup dalam ketakutan, (Pos Kupang,24 Juni 2020).

Sementara Antropolog, P. Gregor Neonbasu,SVD mengatakan bahwa kawin tangkap di Sumba adalah sebuah tindakan Pragmatis, (Pos Kupang, 22 Juni 2020).

Terakhir dalam Harian Pos Kupang edisi 22 Juni 2020, Relawan Solideritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba, Ny. Martha Hebi, berpendapat bahwa peristiwa kawin tangkap terkategori tindakan kekerasan terhadap perempuan yang berpotensi menurunkan harkat dan martabat perempuan. 

Disisi yang lain ada juga yang berargumen bahwa peristiwa kawin tangkap adalah peristiwa adat yang sudah terjadi sejak prosesi adat kawin mawin terjadi di pulau Sumba.

Ir. Agustinus Umbu Hera. Foto : dok.Majalah Fortuna

Mencermati peristiwa ini, saya sebagai orang  Sumba Tengah berpendapat bahwa mesti dibedakan antara istilah “kawin tangkap” dan istilah “bawa lari anak gadis orang untuk  dinikahi atau Palaingidi Mawini dalam bahasa Sumba.

Menurut saya istilah “kawin tangkap” sama dengan pemerkosaan atau dengan  kata lain ada unsur kekerasan. Disana ada pemaksaan kehendak dari si laki-laki dengan melibatkan beberapa pemuda lain untuk menangkap gadis yang dikendaki. 

Bisa dibayangkan seorang gadis ramai-ramai ditangkap dan diraba-raba seenaknya oleh para pemuda. Ini sudah pasti adalah kekerasan terhadap perempuan dan tentu melanggar Undang-Undang Perlindungan Terhadap Perempuan.

Dalam konteks ini maka benar apa yang dikatakan oleh beberapa tokoh masyarakat dan tokoh perempuan diatas. Bukan budaya, tapi justru merusak harkat dan martabat perempuan. Para gadis dalam konteks ini pasti akan hidup dalam ketakutan.

Tetapi kalau yang terjadi selama ini khususnya di Sumba Tengah adalah hal yang berbeda yakni “menangkap/bawa lari anak gadis orang untuk dinikahi” atau dalam istilah adat bahasa Sumba Tengah “Palaingidi mawini”.

Palaingidi Mawini dan Keluarga Harmonis

Perlu diketahui bahwa dalam  peristiwa Palaingidi  Mawini,  ada beberapa catatan penting yang mesti ikut dicermati sehingga kita tidak salah bahkan latah dalam  memberi penilaian.

Beberapa point yang penting kita ketahui yakni ; Pertama, tidak  semua perempuan atau gadis bisa dibawa lari dan tidak dilakukan secara spontan atau tiba-tiba.

Kedua, baru bisa terjadi peristiwa bawa lari anak gadis orang minimal dapat memenuhi beberapa kriteria antara lain:

1). Si laki-laki atau pemuda yang mau bawa lari  gadis sudah pasti sangat mengenal baik dengan keluarga si gadis dan  mencintai gadis  yang mau dibawa lari dan sangat meyakini bahwa kalau membentuk rumah tangga dengan gadis itu pasti bahagia, sehingga dengan segala cara dipakai untuk  mendapatkannya, termasuk merencanakan untuk dibawa lari.

Walaupun gadis itu tidak  mau,  akan tetap diusahakan dengan tetap menjujung tinggi  harkat,  martabat, harga diri dan kehormatan sebagai perempuan atau gadis.

 2).  Keluarga atau orangtua dari  pemuda ada hubungan keluarga dengan keluarga si gadis. Bisa jadi orang tua pemuda dan  pemudanya sudah melakukan  pendekatan dengan orang tua gadis dan gadisnya, tetapi gadisnya tetap tidak mau, maka terjadilah Palaingidi Mawini.

Atau mungkin juga antara orangtua pemuda dan orangtua gadis ada semacam kesepakatan untuk menjodohkan kedua anak mereka tetapi tidak  diketahui oleh  anak gadisnya dan publik. Yang publik tahu hanya pada peristiwa bawa lari anak gadis orang untuk dinikahi.

3). Perlakuan  prosesi adat terhadap gadis yang dibawa lari berbeda dari prosesi adat biasa dalam peristiwa adat kawin mawin.

Bagi keluarga pemuda yang bawa lari gadis tentu sudah sangat mempersiapkan diri baik secara materi, mental dan segalanya guna menghadapi keluarga gadis yang datang  menuntut belis dalam prosesi adat.

Ketiga,  khusus di Sumba Tengah bahkan  pernah terjadi keluarga gadis dan gadisnya bawa lari pemuda, hanya  karena kuatnya keinginan keluarga  untuk bisa mendapatkan pemuda pujaan yang cocok bagi anak gadisnya.

Keempat, keluarga laki-laki baru bisa bawa lari anak gadis orang untuk dinikahi tentu sudah mempersiapkan segala sesuatu baik materi, mental dan segala keperluan lainnya utk mendapatkan gadis,  menyenangkan dan membahagiakan gadis pujaan hati sang pemuda.

Kelima, peristiwa Palaingidi Mawini, hanya terjadi di Sumba lebih  khusus Sumba Tengah dan tidak pernah terjadi ditempat lain.

Ada begitu banyak fakta  dimana keluarga-keluarga yang terbentuk melalui proses bawa lari anak gadis orang atau Palaingidi Mawini, kehidupan rumah tangganya cukup harmonis dan melahirkan anak-anak yang berhasil.

Saya juga belum pernah dengar dan lihat ada keluarg-keluarga yang terbentuk dari proses ini yang bercerai.

Oleh karena itu hemat saya ini adalah  keunikan adat dan fakta-fakta sejarah yang sudah terjadi secara turun temurun dan hanya terjadi di Sumba khususnya di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.

Kalau dalam konteks ini maka beragam pendapat yang disampaikan terdahulu adalah tidak sepenuhnya benar. Disana, di peristiwa Palaingidi Mawini, tidak ada penghancuran martabat kemanusiaan, tetapi entahlah dari sisi hukum negara, tetapi dari sisi adat atau kebiasaan maka peristiwa Palaingidi Mawini merupakan  peristiwa yang biasa-biasa saja bagi kalangan orang Sumba Tengah.

Tentu bagi orang lain yang bukan berasal dari Sumba mungkin memiliki pandangan yang  berbeda. Justru bagi orang Sumba dalam Palaingidi Mawini ada kehormatan, harga diri, martabat kemanusian sebagai warisan leluhur, salah kah? (*

Biodata Penulis :

Nama         : Ir. Agustinus Umbu Hera,

TTL           : Anajiaka/Sumba Tengah, 08 – 08-1960

Agama       : Katholik

Pekerjaan   : Pensiunan ASN Dinas Peternakan Propinsi NTT

Alamat       : Jln.Damai No.62 RT 30/RW 07 Kel.Oebufu Kota Kupang

Kantor Pusat Kopdit Pintu Air. Foto : Fortuna

%d blogger menyukai ini: