Oleh : Silvester P. Hurit
FLORES TIMUR, fortuna.press – Erupsi gunung Lewotobi kali ini mengoyak perasaan kita semua. Korban berjatuhan. Duka tak terperikan.
Ada yang melihat erupsi sebagai peristiwa alam yang tak bisa dielak. Ada lagi yang menghubungkan dengan perilaku manusia.
Menurut agama/kepercayaan asli Lamaholot, gunung dipercaya sebagai ‘orang tua’ yang melahirkan ata ile jadi (leluhur pertama) dalam suatu komunitas Lewo (:kampung).
Oleh karena itu gunung sangat dihormati. Hubungan manusia dengan gunung begitu dijaga. Ada orang yang punya tanggung jawab khusus “memberi makan” (:memperhatikan) gunung. Tanggung jawab turun-temurun tersebut melahirkan kedekatan, pengetahuan dan relasi yang intim antara manusia dan gunung (:alam).
Tanggung jawab tersebut menuntut laku tertentu. Karena gunung itu suci/sakral maka manusia yang berhubungan dengannya mesti merawat sikap, laku dan kesadarannya agar bisa memahami bahasa (:segala yang terjadi atas gunung). Orang tua dulu bilang, lewo alat (keturunan orang yang secara mitologi dilahirkan gunung) bisa bicara/berkomunikasi dengan gunung.
Gunung tidak berdiri sendiri. Kakinya menjangkau pantai.
Sakit gunung bisa dirasa manusia. Pun sakit manusia bisa dirasa oleh gunung. Maka relasi ini mesti dirawat sebaik-baiknya.
Kenapa demikian? Gunung punya banyak peran. Menjaring awan, menyediakan mata air, menumbuhkan banyak pohon, memberi kesejukan, kesuburan dan sebagainya.
Yang hilang dari kita hari ini adalah kesadaran, kepekaan dan ‘bahasa’ tersebut. Telinga kita sudah tak bisa mendengar jerit atau suara gunung. Apa yg dirasa gunung tak dirasa lagi oleh kita.
Lihat! Pohon-pohon ditebang sampai ke punggung bukit/gunung. Setiap kemarau kebakaran bahkan sampai di puncak gunung. Ibarat kita membakar tubuh orang tua kita. Pasir dikeruk sampai di kaki gunung. Orang ke gunung tanpa tahu lagi batas-batas suci. Masuk tanpa permisi tanpa sopan-santun ke ‘kamar orang tua’ kita itu.
Gunung berhubungan dengan pantai. Manusia sejati Lamaholot dalam sastra lisan digambarkan “kepalanya berbantal gunung kakinya menjangkau pantai”. Tak sedikit pantai yang kita rusakan bahkan kita jual kepada orang luar yang tak paham arti gunung dan pantai bagi kita orang Lamaholot. Uang kadang membuat kita membuang pengetahuan yang sangat berharga akan gunung (:alam) yang sangat berguna bagi kelangsungan/keselamatan hidup kita.
Perlahan-lahan kita kehilangan elemen gunung pada tubuh dan kesadaran kita. Mungkin gunung sudah mengeluh sakitnya tapi kita tidak dapat mendengar lagi. Atau mungkin gunung pernah menyeru dengan tanda-tanda atau sinyal-sinyal tertentu agar kita mengungsi sejenak tapi kita tidak bisa menangkap tanda/sinyal itu lagi.
Pengetahuan lokal tersebut mungkin sudah hilang. Sekolah-sekolah kita mengajarkan banyak hal yang jauh dan keren-keren itu tapi absen mengajarkan pengetahuan tentang gunung bagi kita yang hidup di dekatnya. Agama mengajarkan tentang Tuhan yang bertahta di Langit Tinggi tapi kurang mengingatkan kita tentang pentingnya dekat dan mencintai gunung yang ada di depan mata kita.
Kita telah jauh berjalan. Lupa dekat dengan gunung yang menopang kehidupan kita. Lupa pada laut, pantai, mata air, pohon, hutan dan burung-burung.
Binatang-binatang dan pohon-pohon seputar kita mungkin telah dikirim oleh gunung untuk memberi tahu kita banyak hal. Tapi mungkin kita tak peka lagi. Tak peduli lagi. Bahkan mungkin tak menganggapnya lagi.
Ada banyak hal yang hilang dari hidup kita hari ini. Padahal kita hidup di daerah yang rawan bencana. Erupsi, angin kencang, gempa bumi, tsunami, kekeringan.
Dekat dengan alam dan merawat hubungan sebaik-baiknya dengan alam adalah sebuah keniscayaan.
Barangkali belum terlambat juga.