Fortuna

Bung Karno dan Gereja Katolik (Flores)

“Di Rumah Pengasingan Ende, saat Bung Karno bersama keluarganya yang Islam, Bung Karno yang orang besar, rukun menyatu dengan orang kecil, diantaranya, Berta seorang Katolik dan Riwu Ga seorang Protestan”

Oleh : Emanuel Kolfidus, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD NTT

Tulisan ini diilhami oleh Diskusi Radio yang dilaksanakan RRI Pro 3, tanggal 21 Juni 2020, menampilkan Yang Mulia, Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsen Potokota, Pater Henri Daros, SVD dan Dr. Andreas Hugo Pareira sebagai Narasumber dalam tema, Pancasila, Bung Karno dan Diplomasi Gereja di Ende.

Sebagaimana tutur sejarah memperlihatkan betapa besar peran Ende-Flores terkhusus gereja Katolik dalam Bersama Bung Karno melakukan dialog intelektual yang sangat intens sekaligus mengasah dalam proses olah bathin Bung Karno.

Seturut penuturan Pater Henri Daros, bahwa Ketika tiba di Ende, tanggal 14 Januari 1934, dan menjalani kehidupan pengasingan, Bung Karno dijauhi kaum menengah sosial karena mereka takut terhadap intaian Pemerintahan Kolonial Belanda. Praktis, Bung Karno, lebih banyak bergaul dengan kaum jelata (marhaen), seperti petani dan nelayan. Kita tahu, beberapa orang kecil ini bahkan sangat dekat dengan Bung Karno, seperti Berta, dan Riwu Ga, pemuda dari Sabu Raijua.

Emanuel Kolfidus. Foto : Majalah Fortuna

Meskipun demikian, jiwa petualangan intelektual Bung Karno tak dapat dipenjara. Bung Karno mendengar bahwa ada suatu biara yang memiliki perpustakaan yang cukup lengkap, yakni biara Santo Yosef Ende, milik para misionaris SVD (Societas Verbi Divini) atau Serikat Sabda Allah. Bung Karno, senantiasa menyempatkan waktu berkunjung ke biara ini. Dua orang misionaris yang sangat akrab dalam dialog intelektual bersama Bung Karno yaitu Pater Bouma dan Pater Gerardus Huijtink, asal Belanda.

Tentang hal ini, anggota DPR RI, DR. Andreas Hugo Pareira menyatakan bahwa di Ende, Bung Karno menjadi sosok pejuang (orator dan pejuang anti kolinialisme) sekaligus menjadi pemikir (dalam tulisan terdahulu, saya menyebut Bung Karno sebagai filsuf). Bung Karno, pejuang pemikir.

Pater Hendi Daros, SVD menambahkan alasan mengapa Bung Karno begitu dekat dengan Gereja Katolik, termasuk sampai tiga kali berkunjung ke Vatikan-Roma, selama menjadi presiden RI. Petualangan intelektual Bung Karno selama di Ende menjadi bukti. Selama di Ende, dan setiap berkunjung ke Biara Santo Yosef, Bung Karno membaca dengan seksama, dua buku penting bagi gereja Katolik, yakni Ensiklik.

Ensiklik atau surat amanat Paus (dari bahasa Yunani : egkuklios, “lingkaran”) adalah sebuah istilah dalam agama Kristen Katolik. Artinya sebenarnya ialah sebuah surat edaran Uskup. Tetapi dewasa ini ensiklik artinya adalah surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katolik dunia.

Ensiklik berisi ajaran Sri Paus mengenai iman dan kesusilaan. Biasanya ensiklik ditulis dalam Bahasa Latin, bahasa resmi Vatikan. Tetapi sekarang banyak pula keluar terjemahan dalam lain-lain bahasa. Dalam tradisi gereja Katolik, ensiklik merupakan amanat resmi Sri Paus, pemimpin tertingi gereja tentang Haluan gereja berdasarkan perkembangan-perkembangan baru.

Dua ensklik yang dibaca Bung Karno meliputi ensiklik Rerum Novarum yang terbit 15 Mei 1891 oleh Paus Leo XIII berisi hal-hal tentang kemanusiaan, keadilan sosial dan perdamaian. Rerum Novarum membahas kondisi kelas pekerja, mendukung hak-hak buruh untuk membentuk serikat buruh, namun menolak sosialisme dan mengukuhkan hak milik pribadi.

Kedua, ensiklik Qudragesimo Anno terbit 15 Mei 1931 (peringatan 40 tahun Rerum Novarum), oleh Paus Pius XI, antara lain tentang gaji yang layak untuk buruh dan penindasan, membicarakan tatanan masyarakat dan hubungan ekonomi, kepemilikan dan upah.

Alasan lain, mengapa Bung Karno begitu dekat dengan gereja Katolik, dihargai dan diterima oleh gereja Katolik, secara khusus oleh Vatikan yakni gereja menghormati kepemimpinan Bung Karno sebagai presiden NKRI yang menciptakan kebebasan beragama di Indonesia, juga atas jasa Bung Karno yang telah tampil sebagai tokoh dunia yang begitu gigih memperjuangkan perdamaian dunia. Bahkan atas dedikasi ini, pada kunjungan ketiga ke Vatikan tahun 1964, Ketika Vatikan dipimpin Paus Paulus VI, Vatikan menerbitkan perangko bergambar Bung Karno.

Sejarah Bung Karno dan gereja Katolik Ende Flores dapat dilihat dari kesamaan nilai-nilai perjuangan, terutama tentang kemanusiaan. Bagaimana Bung Karno yang diadili dan dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda, justeru bergaul erat dengan misionaris-misionaris asal Belanda pula, di Ende Flores.

Seturut tutur sejarah, para misionaris sempat bertanya, apakah Bung Karno tidak takut dengan penjajah? Karena selama di Ende, Bung Karno diawasi oleh tantara Belanda. Tujuh orang di rumah pengasingan, dan setiap ke biara Sato Yosef, aka nada dua tantara bersepeda, memata-matai Bung Karno. Namun, Bung Karno memiliki jiwa yang kuat dan hebat, tak kenal takut, terus berdialog dengan para misionaris, tentu dalam kesamaan nilai kemanusiaan.

Kita dapat mengerti sekarang, arah pemikiran Bung Karno tentang Pancasila : kebangsaan (nasionalisme) dan kemanusiaan (internasionalisme). Bung Karno tidak membenci Belanda (termasuk para misionaris yang orang Belanda), yang ia tolak adalah kolonialisme dan imperialisme sebagai suatu ideologi, sebagai satu watak, suatu nafsu.

Kolonialisme dan imperialisme itu suatu penghisapan (nilai dan tenaga) manusia lain atas manusia lainnya, satu keadaan yang sangat ditentang pula oleh gereja Katolik yang memberi tempat tertinggi bagi penghormatan atas martabat manusia. Hukum tertinggi adalah cinta kasih (kemanusiaan-humanisme).

Nasionalisme Bung Karno tumbuh dengan nyata di Rumah Pengasingan Ende, saat Bung Karno Bersama keluarganya yang Islam, Bung Karno yang orang besar, rukun menyatu dengan orang kecil, diantaranya, Berta seorang Katolik dan Riwu Ga seorang Protestan. Nasionalisme Bung Karno bukanlah nasionalisme yang sombong (chauvinis) tetapi nasionalisme yang berada dalam taman sarinya internasionalisme. Nilai pokok dari nasionalisme ialah humanisme.

Seperti dinyatakan pemimpin kawakan India, Mahatma Gandhi, my nasionalism is my humanity. Demikian, suatu perjalanan batin dan pergumulan intelektual Bung Karno di Ende Flores bersama gereja Katolik.

Dalam dialog radio RRI pro 3, Uskup Agung Ende, Yang Mulia Mgr. Sensi Potokota berpendapat bahwa Bung Karnolah pencetus dan penggali Pancasila, sehingga gereja memiliki tanggung jawab moral, sebagai bangsa, untuk merangkul erat Pancasila. Sebagai rasa hormat, di Biara Santo Yosef Ende sekarang dibangun teras Bung Karno. Luar biasa ! Pancasila itu final.

Kantor Pusat Kopdit Pintu Air. Foto : Fortuna

%d blogger menyukai ini: