oleh : Fransiskus Denis, Mantan Ketua PERMASI Kupang
Kulababong atau diskusi/dialog dalam budaya masyarakat kabupaten Sikka bukan hanya sekadar cara berbicara, tetapi juga cerminan cara hidup yang penuh makna. Kulababong berarti berbicara untuk mencari solusi — bukan untuk menjatuhkan, membantah, atau menunjukkan siapa yang paling benar. Didalamnya terkandung nilai luhur tentang saling menghormati, mendengarkan dengan hati, dan menggunakan akal sehat dalam berdialog.
Sebagaimana pesan leluhur yang dikatakan dalam ungkapan “Ganu Ata gete nulun tutur” (macam orang tua dulu omong), budaya dialog ini mengajarkan bahwa setiap perkataan harus lahir dari kebijaksanaan. Orang tua dulu berbicara dengan penuh pertimbangan, bukan dengan emosi. Karena itu, ketika “Ata Tutur ita diri” (orang omong kita dengar), kita diajak untuk memberi ruang bagi orang lain menyampaikan pendapatnya — tanda bahwa kita menghargai dan menghormati sesama.
Nilai “Naruk Tabe telan” mengandung makna yang sangat dalam — yaitu saling menghargai antara orang tua dan anak muda, antara sesama manusia tanpa memandang siapa dia. Dalam dialog Kulababong, semua duduk sejajar, tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Itulah bentuk nyata dari penghormatan terhadap martabat setiap orang.
Selain itu, “Tutur nahan pake otek” (omong harus pakai otak) mengingatkan kita bahwa berbicara harus dengan pikiran yang jernih, bukan dengan amarah atau rasa iri hati. Sementara “Diri rena nahan molo molo” (dengar harus benar-benar) mengajarkan pentingnya mendengarkan dengan sepenuh hati, bukan hanya mendengar untuk membalas, tetapi untuk memahami.
Pepatah “Lopa aning biti neti naruk goit kesa ata meang huja ita tutur tala mai poi” memperingatkan kita agar tidak mudah terpengaruh oleh kabar yang belum pasti kebenarannya. Banyak masalah muncul karena orang berbicara tanpa bukti, atau karena iri hati yang menutupi kebenaran. Maka dari itu, dalam semangat Kulababong, setiap kata harus mengandung kejujuran dan niat baik.
Akhirnya, “Naruk gete dadi kesik, naruk kesik dadi potat” (masalah besar jadi kecil, masalah kecil jadi hilang) menjadi simbol bahwa melalui dialog yang saling menghargai, semua masalah dapat diselesaikan dengan damai. Inilah makna terdalam dari Kulababong — bukan sekadar berbicara, tetapi menyatukan hati dan pikiran untuk membangun keharmonisan bersama.
Budaya Kulababong perlu terus dijaga dan diprioritaskan, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang sangat tinggi. Dengan menghidupkan kembali semangat saling menghormati dan menghargai ini, masyarakat Sikka dapat terus hidup dalam kebersamaan, kedamaian, dan keutuhan budaya yang membanggakan. (*



