Saturday, November 8, 2025
spot_img
More

    Latest Posts

    Kemana Anggaran Daerah Mengalir? Evaluasi Belanja Daerah Provinsi NTT 2020–2025

    Oleh: Wily Mustari Adam, SE.,M.Ac

    Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UNWIRA Kupang & Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya, Malang

    Pendahuluan

    Kinerja belanja daerah Provinsi NTT menunjukkan pola yang mengkhawatirkan dalam konteks quality spending, terutama terkait amanat UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (HKPD) yang menetapkan minimal 40% untuk belanja modal (capital expenditure). Data menunjukkan komposisi belanja yang tidak optimal dengan dominasi belanja pegawai dan rendahnya proporsi belanja modal (Data: djpk.kemenkeu.go.id).

    Tolok ukur kinerja belanja daerah dikatakan baik apabila realisasi belanja tidak melebihi target atau sebesar target yang telah ditetapkan. Makna ini sangat berbeda dengan tolok ukur pendapatan. Bahwa kinerja pendapatan dikatakan baik apabila realisasi atau capaian melebihi target atau sebesar target yang ditetapkan.

    Hasil kajian ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kajian aspek pendapatan daerah dalam publikasi sebelumnya. Data yang digunakan dalam analisis ini dari tahun 2020-2025 (per 14 Juni).

    1. Analisis Komposisi Belanja Daerah

    Struktur Belanja Rata-rata 2020-2024 (Sesuai  SAP):

    Belanja Pegawai: 35,85% (tertinggi)

    Belanja Barang dan Jasa: 22,52%

    Belanja Modal: 14,32% (terendah)

    Belanja Lainnya: 27,48%

    Temuan Kritis:

    Belanja modal yang peruntukanya untuk investasi yang bersifat jangka panjang dan produtif hanya mencapai 14,32%, jauh di bawah amanat UU No. 1/2022 yang mensyaratkan minimal 40%. Ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap regulasi dan orientasi belanja yang kurang produktif.

    2. Analisis Realisasi per Komponen Belanja Daerah

    A. Belanja Pegawai

    Rata-rata realisasi: 75,12%

    Pola Realisasi:

    2020: 78,75%

    2021: 102,98% (over budget – indikasi perencanaan yang buruk)

    2022: 83,44%

    2023: 76,81%

    2024: 87,05%

    2025: 21,69% (per 14 Juni)

    Evaluasi: Realisasi belanja pegawai yang melebihi target di tahun 2021 mengindikasikan lemahnya perencanaan anggaran dan kontrol belanja.

    B. Belanja Barang dan Jasa

    Rata-rata realisasi: 68,73%

    Pola Realisasi:

    2020: 92,56% (tertinggi)

    2021: 69,51%

    2022: 83,76%

    2023: 73,90%

    2024: 77,80%

    2025: 14,84% (per 14 Juni)

    Evaluasi: Tren menurun dari 2020, menunjukkan kemungkinan inefisiensi dalam pengadaan barang dan jasa atau kendala administratif.

    C. Belanja Modal

    Rata-rata realisasi: 65,86%

    Pola Realisasi:

    2020: 65,22%

    2021: 48,59% (terendah)

    2022: 91,20% (tertinggi)

    2023: 78,77%

    2024: 110,46% (over budget)

    2025: 0,92% (sangat rendah per 14 Juni)

    Evaluasi Kritis:

    Volatilitas tinggi menunjukkan inkonsistensi dalam eksekusi proyek infrastruktur

    Over budget di 2024 mengindikasikan perencanaan yang tidak akurat

    Realisasi yang sangat rendah di 2025, menunjukkan kemungkinan kendala dalam implementasi proyek. Fenomena ini menunjukkan kembali praktik realisasi belanja modal pada triwulan keempat dan menumpuk di akhir tahun anggaran sehingga sulit dan terbatasnya kontrol oleh DPRD sebagai representasi rakyat dan pengawas utama pengelolaan APBD.

    D. Belanja Lainnya

    Rata-rata realisasi: 82,21%

    Pola Realisasi:

    2020: 98,38%

    2021: 73,44%

    2022: 96,40%

    2023: 101,80% (over budget)

    2024: 110,46% (over budget)

    2025: 12,80% (per Juni)

    Evaluasi: Over budget dalam dua tahun terakhir menunjukkan kurangnya kontrol terhadap belanja bantuan keuangan, bantuan sosial, hibah, dan transfer lainnya. Belanja dalam klasifikasi ini lebih banyak diambil berdasarkan discreationary spending untuk memenuhi janji-janji politik pada masyarakat. Oleh karena itu, penetapan anggaran dan implementasi anggaran belanja ini perlu kontrol dan partisipasi aktif masyarakat dalam memastikan efektivitas implementasinya serta adanya standar kewajaran anggaran belanja yang realistis.

    3. Implikasi terhadap Quality Spending

    Indikator Negatif:

    Ketidakpatuhan Regulasi: Belanja modal 14,32% vs target minimal 40% (UU No. 1/2022)

    Dominasi Belanja Konsumtif: Belanja pegawai + barang jasa = 58,37%

    Volatilitas Tinggi: Ketidakstabilan realisasi menunjukkan lemahnya perencanaan

    Over Budget: Beberapa komponen melebihi anggaran, indikasi kontrol yang lemah

    Dampak Pembangunan:

    Rendahnya investasi infrastruktur yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang

    Ketergantungan tinggi pada belanja operasional yang tidak menghasilkan aset produktif

    Potensi rendahnya multiplier effect dari belanja daerah terhadap perekonomian daerah

    4. Rekomendasi Strategis

    Jangka Pendek (2025-2026):

    Restrukturisasi Anggaran: Tingkatkan alokasi belanja modal minimal 40% sesuai UU No. 1/2024

    Penguatan Perencanaan: Perbaiki sistem perencanaan untuk menghindari over/under budget

    Monitoring Ketat: Implementasi sistem monitoring real-time untuk realisasi anggaran, baik yang dilakukan internal Pemda (eksekutif secara berjenjang) dan juga oleh legislatif (DPRD) sebagai pelaksana amanat rakyat dalam fungsi pengawasan pengelolaan APBD.

    Jangka Menengah (2027-2029):

    Capacity Building: Penguatan kapasitas aparatur (SDM)  dalam perencanaan dan pengelolaan proyek

    Digitalisasi Pengadaan: Implementasi sistem e-procurement untuk efisiensi belanja barang/jasa

    Performance-Based Budgeting: Penerapan anggaran berbasis kinerja untuk meningkatkan akuntabilitas (bukan berbaju kinerja).

    Jangka Panjang (2030+):

    Transformasi Struktural: Perubahan fundamental orientasi belanja dari konsumtif ke produktif

    Public-Private Partnership: Kolaborasi dengan sektor swasta untuk optimalisasi belanja modal

    Regional Coordination: Sinergi dengan kabupaten/kota untuk efisiensi belanja daerah

    Kinerja belanja daerah Provinsi NTT periode 2020-2025 menunjukkan kualitas yang kurang optimal dengan indikasi:

    Ketidakpatuhan terhadap amanat UU No. 1/2022 tentang minimal belanja modal 40%

    Dominasi belanja konsumtif (pegawai) yang tidak berkontribusi pada pembentukan aset produktif

    Ketidakstabilan realisasi yang mengindikasikan lemahnya sistem perencanaan dan kontrol

    Urgensi tinggi diperlukan untuk melakukan reformasi struktural dalam pengelolaan belanja daerah agar dapat berkontribusi optimal terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat NTT. Ayo Bangun NTT melalui quality spending. (*

     

    Latest Posts

    spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

    Don't Miss

    Stay in touch

    To be updated with all the latest news, offers and special announcements.