
Oleh : Heribetus Ajo
Ketika kabar tentang masuknya tambang nikel ke wilayah Raja Ampat mencuat, saya tidak hanya merasa tidak percaya, tapi juga merasakan nyeri yang dalam — seolah ada sesuatu yang sakral sedang dilukai. Karena yang dipertaruhkan disini bukan sekadar kerusakan lingkungan. Yang dipertaruhkan adalah jiwa dari ekowisata Indonesia, martabat ekologisnya, dan reputasinya di mata dunia.
Menambang nikel di Raja Ampat bukanlah tanda kemajuan. Itu adalah tindakan pengkhianatan — seperti menikam ulu hati dari pariwisata berbasis alam yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia.
Selama beberapa dekade, kawasan Timur Indonesia memegang janji yang senyap: bahwa pembangunan bisa dilakukan tanpa menghancurkan kekayaan sejatinya — hutan, laut, budaya, dan manusianya. Raja Ampat bukan sekadar destinasi bagi para penyelam. Ia adalah salah satu tempat perlindungan terakhir di bumi, tempat dimana keanekaragaman hayati hidup berdampingan dengan kearifan masyarakat adat dan keindahan alam yang tak lekang oleh waktu. Di tengah dunia yang semakin tergila-gila dengan modernitas sintetis, wilayah ini justru menjadi guru langka — yang mengingatkan manusia untuk tunduk dan hormat pada kesakralan ciptaan Tuhan.
Saya memahami argumen mereka yang mendukung pertambangan: bahwa itu menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Tapi jangan tertipu oleh angka-angka jangka pendek. Industri ekstraktif menciptakan riak ekonomi sesaat sambil menanamkan bencana ekologis jangka panjang. Kerusakan yang ditinggalkan — pada terumbu karang, tutupan hutan, dan mata pencaharian masyarakat adat — tidak akan bisa ditambal dengan anggaran CSR atau royalti sekalipun.
Pariwisata, khususnya ekowisata, bukan sekadar impian romantik. Ia adalah jalur ekonomi yang serius — jalur yang menghidupi tanpa merusak. Tapi ia membutuhkan alam yang hidup dan utuh. Anda tidak bisa menjual surga jika hutannya habis dan lautnya tercemar. Masa depan Papua, Raja Ampat, dan wilayah timur lainnya tidak ada pada pemboran kerak bumi, tetapi pada konservasi tanah, laut, dan roh alam itu sendiri.
Dan mari kita bicara dengan jujur: ini bukan semata-mata isu lingkungan. Ini adalah soal keadilan. Soal kekuasaan. Soal arogansi kaum oligarki yang tidak pernah benar-benar memahami Papua — yang tidak pernah mencium harum hutannya, tidak pernah merasakan heningnya alam, tidak pernah menyaksikan bintang-bintang di atas Puncak Jaya atau sinar bulan di atas taman karang.
Yang mereka kejar hanyalah harta. Yang mereka hasilkan adalah kemewahan artifisial yang jorok dan berbau busuk. Sebaliknya, Raja Ampat menawarkan kemewahan ilahi — yang tidak bisa disalin apalagi digantikan.

Papua akan bangkit — dari gunungnya dan dari lautnya. Rakyatnya tangguh, ekosistemnya kuat. Pertanyaannya: apakah kita sebagai bangsa akan bangkit bersamanya? Atau terus mengorbankan permata ekologis kita demi kerakusan industri?
Pembangunan sejati memiliki jiwa. Dan pemimpin sejati tahu kapan harus berkata tidak — terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah segalanya.
—
Tentang Penulis:
Heribertus Ajo adalah General Manager Floressa Wisata dan praktisi pariwisata sekaligus pegiat lingkungan yang telah lama aktif di kawasan Timur Indonesia. Aktif mengembangkan pendidikan vokasi pada program studi Ekowisata Pokiteknik Cristo Re,Maumere,Flores. Pada tahun 2016, ia terpilih oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia untuk mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat, dengan tema “Economic, Tourism, and Environmental Protection.